Jujur itu Damai


Suatu hari, sekumpulan anak kecil sedang bermain bersama. Riang sekali. Tiba-tiba ada yang nyeletuk, "ih.. siapa yang kentut?". Si penanya menutup hidung sambil terus bermain. Dalam waktu sepersekian detik, ada yang menjawab "aku!!". Si penjawab mengacungkan tangan Lalu semuanya tertawa, masih dengan riang.

Oh..lihatlah dunia anak-anak yang penuh kejujuran dan saling memaafkan, damai sekali.

Pada suatu hari yang lain, dalam sebuah lift masuklah beberapa orang. Tiba-tiba saja muncul bau tak sedap. Semua orang refleks menutup hidung kemudian melirik satu sama lain. Hening. Diam. Satu persatu orang mulai keluar. Tampak sekali kelegaan di wajah masing-masing ketika keluar lift. Lift pun kosong. Si penimbul bau tak sedap tiba-tiba belum juga di ketahui. Orang-orang pencium bau tak sedap terus saja berkeluh, bahkan pada setiap orang yang mereka temui.

Oh..lihatlah dunia orang dewasa yang penuh dengan ketidakjujuran dan kecurigaan, pantas saja ricuh!



Ketika orang-orang menjadi bodoh



Mari bercerita tentang salah satu keajaiban Indonesia, yaitu Sinetron. Sinetron kebanyakan digandrungi oleh ibu rumah tangga dan para gadis, meski tak sedikit juga bapak-bapak atau pemuda yang hobby nonton sinetron. Saya sendiri, meski tak hobby nonton sinetron, tapi terkadang saya “terpaksa” nonton karena orang-orang di sekitar saya menghendaki channel televisi tetap berada pada tayangan sinetron. Tapi tentu saya tak akan berlama-lama, bukan karena tidak betah, tapi karena biasanya saya sangat bawel, tanya ini tanya itu, ceritanya sedih saya malah mentertawakan, ceritanya gembira saya pun tertawa, dalam hal ini lebih baik saya bertoleransi dulu. Ya, saya sungguh tertawa tiap kali nonton sinetron, kadang tertawa lepas sambil memprotes ini itu yang tak masuk akal di depan para penonton lain, kadang tertawa dalam hati karena khawatir menyinggung perasaan yang lain, dianggapnya saya tak menghargai mereka yang sedang menghayati cerita.




Entahlah, semua orang yang menonton sinetron tentu sangat menyadari bahwa cerita yang mereka tonton itu adalah “palsu”. Tapi barangkali hanya sedikit yang menyadari bahwa mereka sedang menonton sebuah pembodohan. Cerita tentang kehidupan kaum hedonis yang begitu materialis, Kejahatan yang tak kunjung henti dari tokoh antagonis, Penganiayaan terhadap tokoh protagonis yang begitu sadis tapi seolah punya 7 nyawa dan seratus malaikat, dan sejuta cerita tak masuk akal lainnya. Belum lagi cerita sinetron yang satu dengan yang lainnya sangat mirip, jalan ceritanya sudah bisa ditebak.


Mengapa saya sebut pembodohan? Karena ada banyak orang bodoh terlibat di dalamnya.
1.    Home Production dan para kru nya yang memproduksi sinetron.
2.    Stasiun TV yang menayangkan sinetron
3.    Para produsen yang memasang iklan
4.    Para artis yang memerankan tokoh dan menjalani skenario tak masuk akal
5.    KPI yang telah mengijinkan penyiaran sinetron
6.  Para penonton yang menonton sinetron (sepertinya untuk yang ini saya masuk di dalamnya, kadang-kadang lho..)
Hanya ada satu yang pintar dalam hal ini, yaitu para  penonton yang tidak sedang menonton tivi!


Nah, ini kekhawatiran saya :
Ketika menonton tivi, penonton sedang berkomunikasi satu arah. Hanya menerima apa yang disampaikan, dan tidak dapat memberikan feedback. Hal ini berlangsung terus menerus tiap hari selama ratusan episode sinetron. Bayangkan, bahwa informasi yang diterima adalah cerita-cerita tak masuk akal, seputar kisah percintaan, gaya hidup hedonis, kekerasan, bahkan pornografi, kemudian tersimpan di alam bawah sadar, terbentuk menjadi pola pikir atau terefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya ini tak berlaku di sinteron saja, tapi juga pada tayangan film, kartun, berita2. Hanya saja sinetron begitu intensif hadir setiap malam di TV. Dan jadilah mental, prilaku dan moral kebanyakan masyarakat Indonesia seperti ini. Seperti apa? Ya seperti dalam sinetron-sinetron itu, tak masuk akal.

Kebanyakan lho, tidak semua kok. Saya tidak sedang menggeneralisir. Saya sedang membicarakan sinetron yang membodohi para penontonnya. Oia, di awal saya menyebut ini adalah salah satu keajaiban Indonesia, Mengapa? Karena Orang Indonesia sedang dibodohi oleh Sinetron, tapi diam saja. Disaat koruptor yang mencuri uang rakyat diadili, Pemerintah yang tak becus bekerja di protes, Presiden yang sering curhat dicibir, masyarakat justru diam seribu bahasa ketika dibodohi Sinetron. Ajaib kan? Eh, saya bukannya sedang membela koruptor, pemerintah atau presiden lho, saya hanya sedang mengajak masyarakat jangan mau dibodohi sinetron, karena yang paling mendasar dari semua prilaku manusia sehari-hari adalah pola pikir dan moral.

Jadi, Mari gunakan akal ketika di depan TV!




5000 Kicauan




Hari ini twitter saya mencapai angka 5000. Kalo rata-rata setiap tweet 140 karakter (kadang kurang kadang lebih), berarti saya sudah menulis sebanyak 700.000 karakter atau sekitar 466 halaman A4, wow!! Ini sudah cukup untuk jadi satu buku yang sangat tebal :) 

Saya lupa kapan tepatnya mulai punya akun di twitter, sepertinya sekitar akhir tahun 2009. .Waktu itu twitter belum seramai facebook, saya pun cuma ikut-ikutan aja, yang difollow artis-artis, hehe.. Lama-lama maenan twitter seru juga, saya bisa update tweet sepuasnya tanpa di bilang narsis dan kurang kerjaan, beda dengan update status di facebook, yang kalo keseringan orang pasti bakal sebel. Eh, tapi apa pentingnya juga sih update status, haha...entahlah..tanya aja sama yang sering update status :P

Seru nya lagi, di twitter berita dan informasi akan mengalir sangat deras dan cepat, dalam hitungan sepersekian detik. Pernah saya online di twitter, dalam waktu 5 menit aja di timeline saya sudah ada 200an tweet baru. Wew, padahal saya cuma follow 90an akun. Makanya saya cukup selektif untuk follow sebuah akun, karena sayang aja tweet segitu banyak malah ga terbaca. Begitu juga dengan follower, ini lebih selektif lagi, ada banyak  request yang saya cuekin atau malah di decline (untuk akun promo2). Kenapa? karena di twitter saya apa adanya dan apa adanya saya tak perlu diketahui oleh banyak orang :D

Kata Donny Dirganthara, ngetweet itu juga termasuk menulis, yaa..walaupun cuma 140 karakter dan terkesan instan, tapi disitulah ide orisinil milik kita sendiri bisa tertampung.



Hati-Hati dengan Egois yang Tak Disadari

Hari ini, sejarah berulang. Ya, Indonesia kembali bertemu melawan Malaysia di final Sea Games, persis sama seperti akhir tahun 2010 lalu, di final piala AFF. Hasilnya juga persis, Indonesia runner up a.k.a kalah. Eniwei, bukan itu topik utama saya.

Hari ini, saya baru menyadari bahwa dunia ini tak seramah yang kita pikir, bahwa orang-orang di sekitar kita tak setulus yang kita pikir, bahwa saya terlalu polos dan terlalu kecewa. Eniwei, biarin aja sih.. ini bukan hal yang worth it untuk diperbincangkan (kenapa juga ditulis?!? he2... curcol..)

Hari ini, pertahanan hati, jiwa dan emosi saya diobrak-abrik oleh berbagai macam hal secara bersamaan (ga ada hubungannya sama kekalahan Indonesia loh) . Ini cukup membuat saya sedikit labil. Mau menguatkan diri sendiri ya susah juga, sebagai makhluk sosial tentu saja saya membutuhkan orang lain, dan sebagai hamba Allah, tentu saja saya membutuhkan Allah untuk bertopang.  Jadi bohong banget kalo ada seseorang yang dilanda segala kesulitan dan kegelisahan lalu dia memulihkannya sendiri, pasti ada campur tangan lain. 

Seringkali saya sebagai manusia yang berteriak menuduh orang egois, padahal saya sendiri bertindak egois tanpa sadar. Bukankah kita mendapat perlakuan seperti apa kita memperlakukan? Contoh sederhananya, saya hanya mengadu dan menangis kepada Allah saat mendapat kesusahan, sedangkan ketika mendapat kebahagiaan, saya lupa, lupa untuk bersyukur, lupa untuk sekedar khusyu ketika sholat. Atau contoh lain, ketika saya sedang sedih, saya mendatangi atau curhat sama temen saya, minta dia mendengarkan dengan sepenuh hati dan memberi solusi, tapi disaat yg bersamaan saya justru tak pernah menanyakan bagaimana kabarnya pada saat itu, jangan-jangan dia sedang sedih juga (dan saya menambahnya dengan cerita sedih saya!). 

Duhai, janganlah menuduh meski itu hanya dalam hati.



Tulus, No "Jutek" !


Tak sengaja, mendengar pembicaraan seseorang tidak berseragam yang sedang menelpon, “Iya, orang-orang di lantai 20 tuh judes-judes banget, parah..”. Refleks kepala saya menengok ke orang tersebut, kami bertatap mata, dia langsung menunduk dan pergi dari tempatnya (padahal saya ga ngapa-ngapain lho). Mungkin karena melihat saya berseragam, dia mengira saya juga bagian dari orang-orang “judes” di lantai 20. Untungnya saya tidak berkantor di gedung itu, jelas saya bukan bagian dari lantai 20, tapi kebetulan saja waktu itu saya memang akan menuju lantai 20.

Tapi..ah daripada saya cerita bahwa benarkah yang dikatakan orang tidak berseragam yang sedang menelpon itu, alangkah baiknya kalau saya instrospeksi diri sendiri saja. Meski saya tidak bekerja di bagian pelayanan atau loket atau meja dimana harus menghadapi orang-orang datang hilir mudik, tapi sesekali memang ada tamu yang datang. Saya bertanya pada diri sendiri, sudahkah saya ramah dan tersenyum kepada tamu-tamu tersebut? Jangan-jangan di depan kantor saya ada orang yang bilang “males ah, orang-orang di lantai 5 jutek-jutek”. Wow, bisa jadi saya termasuk salah satu orang tersebut.

Ngaku-ngaku pelayan masyarakat, tapi sekedar menjawab pertanyaan saja sambil jutek, apalagi kalo di demo sama masyarakat? Atau bisa jadi ini salah satu faktor (salah satu aja lho ya) yang menyebabkan masyarakat apatis terhadap pemerintah. Jadi inget yel-yel waktu orientasi pegawai di awal dulu “Melayani dengan tulus”. Tulus itu ngga pake jutek lho :D




Suatu Pagi di Stasiun Kereta ( cerbung : part 3 )


part 1 : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150262447526398
part 2 : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150293702765982
***

Jam di dinding stasiun menunjukkan pukul 05.30. Masih ada setengah jam lagi untuk menikmati segelas kopi di tanganku yang sudah tidak panas ini. Sebenarnya bagian yang paling mengasyikkan dari meminum kopi adalah ketika mataku berkeliling menyapu sekitar.

“Muthia?”
Gelas kopi di tanganku sedikit berguncang. Dalam waktu sepersekian detik aku langsung menoleh ke arah orang yang memanggilku. Seorang kakek tua berusia sekitar 70 tahun. Dahiku sedikit mengerenyit, mencoba mengenalinya.

“Muthi, masih ingat bapak? Pak Darma? Piye kabarmu, nduk?” Kata Kakek tersebut meyakinkanku.
“MasyaAllah, Pak Darma?” reflek aku meletakkan gelas kopi yang isinya tinggal seperempat, kemudian menyalami Kakek itu. Beliau adalah guru semasa SD ku. Guru yang mendongkrak pemikiran anak kampung sepertiku. Guru yang tak hanya mengajar mata pelajaran, tapi juga mendidik siswa-siswanya untuk menjadi orang besar. Ya, menjadi orang besar dan bermimpi besar. Perkataan-perkataan beliaulah yang kemudianmembuatku bersikeras mengejar mimpi-mimpiku menjadi seorang pelukis, meski itu harus bertentangan dengan keinginan orang tua dan membuatku meninggalkan kampung halaman.

“Bapak, sekarang berjualan mangga?” tanyaku sambil memperhatikan dua keranjang besar yang dibawa Pak Darma. Tubuh rentanya tentu tidak sebanding dengan beban yang dibawanya, Entah kekuatan apa yang membuatnya bisa mengangkat keranjang sebesar itu.

“Iya mut, sudah lima tahun terakhir, buahnya tergantung musim, kadang mangga, kadang lengkeng. Tadinya bapak buka warung di rumah, tapi lama-lama barang di warung habis karena tidak balik modal”
Tanpa kutanya lebih lanjut, Pak Darma bercerita banyak hal tentang hidupnya paska pensiun sebagai Guru SD. Sejak masuk SMA, aku memang tak pernah lagi bertemu dengan Pak Darma. Istrinya meninggal dua tahun setelah Pak Darma pensiun, bukan karena sakit atau kecelakaan, hanya saja Allah lebih sayang kepadanya, kata Pak Darma lirih. Pak Darma hanya mempunyai seorang putra, seorang Sarjana Teknik yang tadinya bekerja di sebuah perusahaan tambang. Namun karena sebuah kecelakaan kerja, putra Pak Darma mengalami cacat pada kaki untuk seumur hidupnya. Sekarang putra Pak Darma membuka usaha reparasi barang elektronik di rumahnya.

Meski sudah lanjut usia, Pak Darma berjualan buah mangga untuk menghidupi dirinya sendiri, Beliau tidak mau menggantungkan hidup pada anaknya yang walaupun masih muda dan kuat tapi memiliki keterbatasan untuk bergerak. Pak Darma juga bercerita tentang keinginannya untuk bisa berangkat ke tanah suci. Karena itu ia berjualan buah setiap hari dari pasar ke pasar, stasiun ke stasiun, atau tempat keramaian lainnya, berharap dagangannya akan habis terjual dan ia bisa menyimpan sedikit penghasilannya untuk ditabung.

“Jadi, kapan Bapak akan berangkat ke tanah suci?” tanyaku penuh antusias.
Beliau hanya menjawab tanyaku dengan senyuman.
“hmm..maaf pak, pertanyaan jika pertanyaan saya menyinggung” ujarku menyesal
“Tidak apa-apa Mut. Tabungan bapak masih sedikit, seperempatnya saja belum sampai. Bapak belum tahu kapan bisa berangkat, meskipun usia Bapak semakin tua, tapi Bapak selalu yakin Allah akan mengizinkan Bapak berangkat ke tanah suci. Sekarang Bapak masih berikhtiar”

Aku menunduk tajam. Jika usianya sekarang 70 tahun, dan tabungannya belum ada seperempatnya, dengan penghasilannya yang hanya dari berjualan buah, ah..nalar otakku tak dapat lagi menghitung pada usia berapa Pak Darma dapat memenuhi cita-cita mulianya itu.

Stasiun Tawang semakin ramai. Matahari semakin tinggi. Sebentar lagi Dik Runi akan datang menjemputku pulang ke rumah. Aku memandang sekelilingku, ada banyak penjual keliling yang menjajakan makanan, minuman, oleh-oleh khas Semarang, atau buah seperti yang dibawa Pak Darma. Sebagian dari mereka telah berusia separuh baya. Berapa banyak dari mereka yang mempunyai keinginan seperti Pak Darma dan berapa banyak dari mereka yang tetap berikhtiar meski tahu bahwa dengan penghasilan mereka yang tak seberapa itu akan butuh waktu yang sangat lama agar cukup untuk biaya pergi haji. Aku jadi teringat orang tuaku. Bersyukur Ayah medapat warisan tanah dari Kakek, meski sempat menimbulkan perdebatan, enam tahun lalu tanah itu dijual untuk biaya Ayah dan Bunda pergi haji. “Tak apa-apa tak punya tanah, yang penting Ayah sudah hidup tenang jika sudah pergi haji” ujar Ayah lirih.

Tiba-tiba saja ingatanku berputar kembali ke masa lalu. Masa kanak-kanak yang tak pernah aku lupakan.
“Siapa yang punya cita-cita?” teriak Pak Darma, wali kelas kami lantang. Semua anak mengacungkan tangannya.
“Apa cita-cita kalian?” lagi, tanya Pak Darma
“Jadi Petani pak”
“Buka warung pak”
“Beli Motor pak, biar bisa ngojek”
Saat itu Pak Darma hanya tersenyum. “Anak-anak yang Bapak cintai, milikilah cita-cita kalian setinggi mungkin. Kalau orang tua kalian petani, buka warung, atau tukang ojek, kalian harus punya cita-cita yang lebih tinggi. Jadi Presiden, Ilmuwan, Pilot, Dokter atau menjadi apapun, yang penting kalian percaya diri, menyukai pekerjaan tersebut dan kemudian bermanfaat bukan hanya untuk diri kalian sendiri tapi juga untuk orang-orang di sekitar kalian”

Begitu terus setiap harinya Pak Darma memotivasi kami, selalu mengingatkan kami agar mempunyai cita-cita untuk menjadi orang besar dan berjiwa besar. Saat itu, kami adalah anak kampung, masih kelas 6 SD dan otak kami tak sampai untuk bisa mencerna kata-kata Pak Darma. Tapi perkataan tersebut ternyata tersimpan dalam alam pikiran bawah sadarku, dan menjadi bekalku di kemudian hari.

“Saya mau jadi pelukis pak”  teriakku saat itu dengan penuh semangat sambil mengacungkan tangan. Aku tak tahu menjadi pelukis bisa bermanfaat untuk orang lain atau tidak, yang jelas aku sangat suka menggambar. Dan disinilah aku sekarang. Menjadi seorang pelukis yang meski belum profesional, tapi bulan depan aku akan mengadakan pameran tunggal. Aku khusus pulang untuk menjemput kedua orang tuaku, mengajak mereka menikmati hasil karyaku, membuktikan pada mereka bahwa aku bisa menggapai mimpi-mimpiku.

“Mut, Muthi...kok malah ngelamun nduk? Kamu nunggu dijemput tho? Oia, bapak belum sempat bertanya-tanya, kamu sekarang sudah bekerja atau masih sekolah?” Suara Pak Darma membangunkanku dari memori 15 tahun lalu. Tiba-tiba pikiranku tertuju pada sejumlah uang di rekeningku, hasil dari penjualan dua buah lukisan.

“Hmm, Pak, Bapak mau pergi ke tanah suci tahun depan?” Lontarku spontan. Tak apalah, sebagian dari rekeningku untuk biaya Pak Darma memenuhi panggilan Allah. Toh kedua orangtuaku sudah pergi haji, aku pun masih bisa memberikan sebagian hasil keringatku pada mereka.

Wah, saya sih mau saja Mut, tapi itu ndak mungkin, wong tabungan saya saja belum ada seperempatnya” Ujar Pak Darma sambil terkekeh.
“Bapak tak usah khawatir soal tabungan, saya akan menambah tabungan Bapak supaya cukup untuk mendaftar haji”
“Ah, tidak usah Mut, tidak usah, memangnya kamu punya uang? Ah, kalaupun punya, itu pasti hasil kerja kerasmu, itu untukmu saja. Simpan untuk masa depanmu, nduk, atau berikan pada kedua orang tuamu, mereka lebih berhak”

Aku melihat Pak Darma menitikkan air mata. Aku tahu betapa keinginannya untuk pergi ke tanah suci sangat kuat. Tapi keteguhannya untuk mempertahankan harga dirinya lebih kuat. Jangankan aku yang hanya murid SD nya, penghasilan dari anaknya saja tak mau beliau terima.

“Tak apa-apa Pak, saya memang hanya murid SD Bapak, tapi bagi saya Bapak adalah orang tua saya. Bapak adalah inspirasi saya untuk menggapai mimpi-mimpi saya. Ijinkan saya membalas kebaikan Bapak.”
Pak Darma tergugu, tangisnya pecah, tapi ia tak bicara sepatah pun. Itu artinya iya, hanya saja beliau tak sanggup mengatakannya.

“Kak Muthi!!!” Teriak seorang gadis remaja berkerudung ungu. Tangannya melambai ke arahku. Dik Runi, jika saja aku tak melihat foto yang ia kirimkan setiap tahun, pasti aku sudah tak mengenalinya. Aku segera memeluknya. Melepas rindu selama lima tahun pada adik semata wayangku.

“Kak Muthi mau beli mangga ya? Beli yang banyak ya kak, sekalian buat Ayah dan Bunda di rumah. Mereka kangen sekali sama Kak Muthi”
Aku terdiam sebentar “Iya, Kak Muthi mau beli mangga, kamu mau berapa banyak?” Ujarku sambil tersenyum. Dik Runi tak perlu tahu percakapanku dengan Pak Darma. Begitu pula Ayah dan Bunda. Biarlah hanya aku, Pak Darma dan Allah saja yang tahu.

*** TAMAT***

Bagian terbaik dari kehidupan seorang manusia yang baik
adalah amalnya yang kecil, tak bernama, tak diingat,
yang bersumber dari rasa kebaikan dan kasih sayang
~william wordsworth~




Hujan, Jalak dan Daun Jambu
(Sapardi Djoko Damono)


Hujan turun semalaman. Paginya jalak berkicau dan daun jambu bersemi;
Mereka tidak mengenal gurindam dan peribahasa, tapi menghayati adat kita yang purba.
Tahu kapan harus berbuat sesuatu, agar kita manusia, merasa bahagia. 
Mereka tidak pernah bisa menguraikan hakikat kata-kata mutiara, 
Tapi tahu kapan harus berbuat sesuatu, agar kita merasa tidak sepenuhnya sia-sia





Do not fooling us, please?

Honestly, baru kali ini saya menghadiri sebuah forum group discussion (FGD) dalam rangka menjaring aspirasi masyarakat, dimana peserta murni berasal dari perwakilan warga (bukan para praktisi atau LSM). Ya, dan saya tercengang. Saya melihat langsung bagaimana sebuah pembodohan masyarakat sedang berlangsung dengan aman dan lancar.

Rencana awal saya akan memposisikan diri sebagai seorang pemerhati lingkungan (bukan sebagai aparat pemerintah, ceritanya lagi jadi spy :D), tapi saya urungkan ketika tahu pihak penyelenggara tidak mempersiapkan (kemungkinan besar disengaja) materi pengantar diskusi. Tiba-tiba saja peserta diskusi di"paksa" untuk melakukan tanya jawab dengan narasumber yang ternyata tak menguasai materi. Sempurna bukan? Narasumber tak menguasai materi dan peserta sama sekali tak tahu materi apa yang akan didiskusikan.

Padahal yang didiskusikan adalah sebuah rancangan Perda (Peraturan Daerah), dimana masyarakat harus mengetahui dan mengkritisinya karena itu menyangkut hajat hidup mereka puluhan tahun ke depan. Seolah semua sudah diatur sedemikian rupa. Pihak penyelenggara yang berkepentingan terhadap Perda tersebut telah memenuhi syarat - dalam hal ini penjaringan aspirasi masyarakat - padahal sebenarnya warga tidak mengetahui apa-apa dari FGD tersebut, sehingga Perda bisa lolos tahap berikutnya.

Kesimpulan saya adalah sebuah ketidakterbukaan yang disamarkan sengaja dilakukan untuk meng-gol-kan sebuah rancangan Perda.



Blogger Day, Indonesia!!

"Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari." ~ Pramoedya Ananta Toer

Happy Blogger Day, Indonesia!!



How the others judge me


Seorang teman pernah bercerita bahwa ia seringkali khawatir akan mendapat penilaian jelek dan negatif dari orang lain. Ia takut orang akan berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya, hingga hal-hal yang seharusnya biasa saja pun ia khawatirkan.

Well, saya pun sering demikian, and I realized, so stupid I am for thinking like that. Berprilaku manis dan sopan hanya karena ingin orang lain menganggap saya orang yang baik dan santun. Selalu terseyum, ramah dan sering menawarkan bantuan hanya karena ingin orang lain menganggap saya orang baik. Lalu apa yang saya dapat? Yup, betul, orang lain memang menganggap saya orang yang baik dan santun. Pemor saya naik, kepopuleran saya meningkat dan saya naik satu tingkat disbanding orang-orang yang tadinya setara dengan saya (egh..ini contoh aja loh ^^ ).

Tapi apalah artinya itu semua, jika kemudian setiap saat saya selalu dibayang-bayangi kekhawatiran, takut salah bersikap & berbuat, takut kepergok sedang melakukan kesalahan, takut orang lain akan berpikiran negative. Siapa mereka? Siapa orang-orang itu? Apa mereka yang memberikan saya kehidupan? Apa mereka yang member saya rizki? Bukan.. Jadi tak sepantasnya saya takut kepada mereka. Tak sepantasnya saya berbuat baik karena mereka.

Seharusnya saya hanya takut kepada yang Mencipta. Yang Memberi Kehidupan, Yang Selalu Mengawasi saya setiap saat, Yang bisa saja sewaktu-waktu menyentil dan membalikkan kehidupan saya sesuai kehendakNya.

Seharusnya saya berbuat kebaikan karena mengharap ridhoNya dan bukan karena ucapan terimakasih dari orang lain. Akhirnya saya berkata pada teman saya ini, “Kawan, tak usah takut bagaimana orang lain memandang kita. Yang terpenting adalah pandangan Allah terhadap kita, be your self and do it coz Allah”






Doa untuk Palestina

Malam ini, imam sholat tarawih di Masjid BI adalah seorang Syekh dari Palestina. Bacaannya tartil dan Subhanallah panjang sekali. Perkiraan saya, kalo satu rakaat satu lembar, berarti selesai satu juz. Yang istimewanya adalah ketika rakaat terakhir sholat witir, beliau hanya membaca surat pendek Al Ikhlas. Setelah rukuk, beliau membaca Doa Qunut, yang lamanya sama dengan lama waktu satu rakaat.

Selesai sholat, teman-teman saya ramai-ramai mengeluh tentang Qunut yang amat panjang tersebut. Tak ketinggalan, saya pun ikut mengeluh meski hanya dalam hati. Astagfirullah.. Sungguh pegalnya kaki kami berdiri sangat tidak sebanding dengan penderitaan rakyat Palestina selama ini. Beliau, seorang syekh yang sholeh, mengajak kami berdoa untuk keselamatan negerinya, dan kami mengeluh karena pegal berdiri?? Padahal selama ini kami belum bisa berkontribusi apa-apa selain berdoa, maka sangat tak pantas jika kami mengeluh.

Maafkan kami Syekh..
Ampuni kami ya Allah..
Sungguh kami mencintai Palestina dan rakyatnya karenaMu


Simpan Uang Lecek Anda !!

Siang blogger, semoga kita semua dalam keadaan sehat dan istiqomah :)
Pernah melihat uang kertas seribuan yang lecek, disolasi karena sobek, agak hitam, dan yaa..buruk sekali rupanya.




Kira-kira kalo kita dikasih kembalian supir angkot uang seribuan kaya gitu gimana? Kalo cuma seribu sih, ya ikhlasin ajalah, tapi kalo lebih dari itu, silakan protes. Toh pak supir juga pasti ga mau kalo dikasih ongkos pake uang jelek bin lecek kaya gitu.

Jadi kemarin, saya naik angkot bersama seorang teman, dan teman saya ini menitipkan uang dua ribu rupiah kepada saya untuk dibayarkan ke supir. Masalahnya adalah dua lembar seribuan itu rupanya amat buruk. Makanya saya langsung protes ke temen saya, "Gak ada yang lebih bagus lagi apa? Masa kamu tega ngasih uang jelek kaya gini". Karena temen saya bilang ga ada recehan lagi, jadinya saya bayarin dulu ongkosnya.

Itu cuma satu contoh aja. Sering banget kan kita pake uang seribu lecek itu untuk jajan di warung, beli minum di bis, kasih pengamen atau bahkan buat sedekah (Astagfirullah). Tegakah kita? Coba bayangkan, mereka hanya punya beberapa lembar uang lecek (yang menurut kita tidak layak pakai), tapi karena cuma itu uang yang mereka punya, mereka tetap pakai untuk membeli sembako. Gimana kalo warung tempat mereka beli sembako ga mau nerima uang mereka? Jadi, tegakah kita?

Kalo saya selama ini uang seribu lecek yang tidak layak pakai, saya simpan dan ga akan pernah saya pakai. Bahkan saya pernah buang (kalo yang ini khilaf). Bukannya ga mau menghargai uang, tapi justru inilah cara kita menghargai uang. Jangan mentang-mentang mereka supir angkot, pedagang kaki lima, atau pengemis, maka kita menganggap mereka layak mendapat uang seperti itu. Kenapa kalo kita pergi ke Mall, Bank, atau restoran, kita malu mengeluarkan uang kaya gini.

Jadi, mari kita gunakan uang layak pakai untuk melakukan transaksi pembayaran, dimanapun itu, tanpa membeda-bedakan. Kalo punya selembar uang seribu yang tidak layak pakai, simpan saja, atau kumpulkan sampai banyak lalu ditukarkan ke bank.



My Dream Shop

Weekend kemarin saya hangout (*halahhh) bareng mama, tante sama om. Mampir ke sebuah toko, katanya mau beli payet buat kebaya. Eh ternyata toko ini adalah sebuah toko aksesoris pakaian wanita. Ada jilbab, bros, gelang, kalung, bando, tas, payet, renda, dan aksesoris2 lain, dan toko ini menyediakan buku-buku bacaan (untuk baca ditempat) tentang memadupadankan pakaian, cara memasang payet di pakaian, dan buku-buku yang pastinya dibutuhkan para pelanggan.

Wow..senangnya hatiku ^^. This is one of my dream. yup, suatu saat saya akan membuka sebuah toko atau butik, yang isinya menjual lengkap aksesoris wanita. Seperti toko ini. Bedanya, toko saya nanti khusus untuk muslimah. Menjual busana muslim beserta padu padan aksesorisnya mulai dari jilbab, tas, sepatu, aksesoris baju, aksesoris jilbab, kalung, gelang, dan lain-lain, plus akan ada stylist (bukan sekedar buku bacaan) dimana para pelanggan berkonsultasi (gratis) untuk me-mix&macth-kan pakaian mereka.

Yang unik dari toko saya nanti adalah, harga yang terjangkau. Karena saya suka barang-barang dengan harga murah, dan saya yakin hampir semua orang demikian. Tentunya tanpa mengurangi kualitas dari produk-produk yang dijual. So, harga murah, kualitas bagus dan pelayanan yang memuaskan, that's my point.

Semoga terwujud ya Allah.. amin.. ^^





"Aku hidup untuk mencari ridho dari Rabb-ku... meraih syafaat dari yang dirindukan Rasulullah Muhammad SAW... menjayakan Islam di bumi Allah... dengan mengasihi dan memberikan yang terbaik bagi keluarga, sahabat, dan orang-orang di sekitar kita.."



numpang copast ^^


When your daughter is calling


Suatu siang di kantor. Seorang senior saya sedang menerima telpon dari anaknya. Tiba-tiba dia menyodorkan HPnya pada saya, sedikit memaksa saya berpura-pura jadi bosnya dan ngobrol dengan anaknya. Tanpa sempat bertanya ada apa, saya menerima telpon tersebut dan mulai berbicara pada seorang anak di seberang sana,


halo, ini Lisa ya? Lagi ngapain dek Lisa?”

“lagi maen sepeda tante”

“kok maen sepeda siang-siang, emangnya gak cape pulang sekolah? Udah bobo belum”

“Gak cape kok, aku juga belum tidur siang”

Saya terdiam sebentar


“Tante, kenapa sih mama aku pulangnya sore terus”

“lho kan mamanya Lisa lagi kerja, selesainya baru sore”

“Suruh dong pulang siang, tante..”

“Kan masih banyak kerjaan dikantor, jadi belum bisa pulang”

“Tapi aku maunya mama pulangnya siang aja, jangan sore-sore”

“yaa.. nanti kalo pulang siang gajinya mama dipotong, nanti gak bisa kasih jajan lagi buat Lisa”

“Ah, biarin aja, aku gak mau jajan kok, aku mau mama pulangnya cepet”

“Emangnya kenapa, Lisa kangen ya sama mama?”

“Iya, Lisa kangen, pengen maen sama mama”

“Lisa sabar ya, nanti sore kan mama pulang, ketemu sama Lisa trus bisa maen deh sama mama”

“Kelamaan kalo sore, kan abis ini Lisa bobo sampe setengah 3, trus bangun, trus mandi, trus ngerjain PR, trus maen lagi. Mama boleh pulang ya tante?”

Saya terdiam lagi, speechless


“Tante, aku pengen ikut kalo mama pergi kerja, jadi bisa bareng sama mama terus”

“lho terus Lisa sekolahnya gimana?”

“aku bolos aja sekolahnya”

“nanti rapotnya jelek lho kalo bolos”

“biarin aja rapotku jelek, gak sekolah juga gak apa-apa, aku maunya sama mama”

Speechless lagi. Akhirnya saya menyerah dan mengembalikan HP pada pemiliknya. Anak itu baru kelas 1 SD, dan saya gagal membujuknya. Meski setelah itu ibunya sang anak tertawa-tawa bersama saya, sungguh dalam hatinya pasti sangat khawatir akan anaknya, tentu ia merasa sangat bersalah karena tak bisa memenuhi keinginan anaknya saat itu. Ah..mungkin bukan saat itu saja, bisa jadi keinginan ini sudah terakumulasi sekian lama, hingga si anak bersikeras menelpon “Bos” ibunya supaya mengizinkan ibunya pulang cepat.

Jika beberapa tahun ke depan, ini terjadi pada saya, actually I don’t know what I’m going to do. Barangkali mudah saja untuk meredam keinginan si anak pada saat itu juga, tapi itu tidak solutif. Yang terpenting adalah bagaimana membuat si anak tetap merasa nyaman dan tidak kehilangan meski ibunya bekerja 8-10 jam di kantor. Well, I don’t have any idea? Do you?



Kebanyakan Tidur

boss : "Kamu masih demam?"
saya : "engga pak, tinggal pileknya aja"
boss : "kurang tidur tuh kamu"
saya : "gak juga pak"
boss : "oh..berarti kebanyakan tidur"
saya : (gubrakkk... telak banget, haha...)





Kamera Laptop Tidak Berfungsi

Beberapa bulan ini, kamera laptop saya gak bisa berfungsi. Kalo udah begini, saya gak akan menyia-nyiakan punya temen-temen yang ahli di dunia perkomputeran ^^ . Setelah tanya-tanya ke beberapa teman tentang perihal ini, inilah jawabannya..

Teman pertama menjawab, kemungkinan tombol ON kameranya belum dinyalakan. Tapi, dari awal beli ini laptop sampe sekarang, saya emang gak pernah nemu tombol ON/OFF untuk mengaktifkan kamera. Dulu waktu kameranya masih berfungsi, dia nyala dengan sendirinya. Maka jawaban ini pun terbantahkan.

Teman kedua, saya suruh dia melihat dan mengoprek-oprek langsung laptop saya sambil sedikit memaksa untuk menemukan penyebab kamera laptop gak berfungsi. Dia bilang driver kamera tidak terdeteksi. Katanya lagi, dalam kasus ini ada tiga kemungkinan yang rusak, Driver nya, Windows nya, atau Hardware nya. Kemungkinan yang terakhir membuat saya deg-degan, kalo hardware nya yang rusak, takkan lagi ada harapan. Meski penjelasan dan solusi yang diberikan teman saya ini cukup lengkap, tapi saya gak bisa berbuat apa-apa, suer..saya blank banget kalo soal beginian. Pengennya sih minta tolong si temen saya yang ini untuk membereskannya sampai berfungsi kembali, tapi.. dia mau nengok laptop saya aja udah bagus.

Teman ketiga, sangat aplikatif. Dia suruh saya bawa CD driver laptop, untuk install ulang driver kameranya. Langkah pertama saya uninstall Bisoncam (nama untuk driver kamera laptop saya), lalu di install ulang dan restart. Sayangnya Bisoncam yang baru tetap gak berfungsi. Pantang menyerah, teman saya suruh saya uninstall dan install ulang lagi (hey..saat itu dia Cuma duduk dengan tenang disamping saya sambil memberi instruksi tanpa sedikit pun memegang laptop saya). Saya lakukan instruksinya, uninstall, install ulang dan restart. Di sinilah terlihat titik terang, Smadav Antivirus saya mendeteksi Bisonkey (program file yang ada pada Bisoncam) sebagai virus. This is it… inilah akar masalahnya. Teman saya bilang, kemungkinan besar Bisoncam terdeteksi virus oleh Smadav, makanya gak mau berfungsi. Akhirnya saya uninstall Smadav, uninstall Bisoncam, lalu install kembali Bisoncam dan restart laptop. Hasilnya…tadaaaa….. Kamera kembali berfungsi.

Oya, saya memakai Laptop Axioo Neon MLC 0152 dan Smadav versi 8.3. Kalau anda memakai laptop yang sama dengan yang saya pakai, lebih baik jangan menginstall Smadav antivirus. hmm.. Ada kemungkinan, ini juga bisa terjadi pada laptop lainnya.





Take the risk

Nonton proActive tadi malem, bikin saya keki plus emosi. Bagaimana tidak, di awal acara, para host melakukan hipnotis bohong-bohongan untuk menyindir seorang Menteri. Maaf saja, menurut saya, ini sangat tidak santun, mengingat para host ini juga adaah public figure. Tapi saya tetap harus menonton acara ini sampai selesai, barangkali saja ada ha-hal yang belum saya ketahui tentang RIM, Blackberry dan Menkominfo.

Sepanjang acara, para host melakukan dialog dengan tak henti-hentinya menyindir dan mencela Pak Tif khususnya dan Pemerintah umumnya. Saya mengenal pak Tif, saya tau istri, anak-anak dan keluarganya. Beside that, Alhamdulillah saya pernah belajar konsep Al Qiyadah Wal Jundiyah. Saya percaya, Pak Tif bukanlah seperti yang dituduhkan orang-orang di media.

Tapi ada satu hikmah yang bisa saya ambil dari kasus ini. Kita harus siap dikritik, dicaci bahkan dihujat orang lain. Terlebih jika masuk dalam pemerintahan. Di negeri ini ada ratusan juta orang yang harus dilayani kebutuhannya. Tentu sangat sulit memenuhi keinginan masing-masing dan mengiyakan semua isi kepala. Berlaku adil bukan berarti memuaskan semua pihak. Hal apapun yang dilakukan seseorang, jika itu menyangkut kepentingan orang banyak, walaupun tujuannya baik, pasti ada saja pihak yang merasa tidak terpuaskan. Inilah resikonya.

Saya teringat, dulu Rasulullah dicaci maki, dihujat, dilempari kotoran, bahkan diburu untuk dibunuh, padahal saat itu beliau sedang menyampaikan kebenaran dan mengajak orang lain menuju keselamatan.
Wallahua'lam..


#tetap semangat menjadi pelayan masyarakat ya dhee.. ^^