part 1
: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150262447526398
part 2
: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150293702765982
***
Jam di dinding
stasiun menunjukkan pukul 05.30. Masih ada setengah jam lagi untuk menikmati
segelas kopi di tanganku yang sudah tidak panas ini. Sebenarnya bagian yang
paling mengasyikkan dari meminum kopi adalah ketika mataku berkeliling menyapu
sekitar.
“Muthia?”
Gelas kopi di
tanganku sedikit berguncang. Dalam waktu sepersekian detik aku langsung menoleh
ke arah orang yang memanggilku. Seorang kakek tua berusia sekitar 70 tahun.
Dahiku sedikit mengerenyit, mencoba mengenalinya.
“Muthi, masih ingat
bapak? Pak Darma? Piye kabarmu, nduk?” Kata Kakek tersebut meyakinkanku.
“MasyaAllah, Pak
Darma?” reflek
aku meletakkan gelas kopi yang isinya tinggal seperempat, kemudian menyalami
Kakek itu. Beliau adalah guru semasa SD ku. Guru yang mendongkrak pemikiran
anak kampung sepertiku. Guru yang tak hanya mengajar mata pelajaran, tapi juga
mendidik siswa-siswanya untuk menjadi orang besar. Ya, menjadi orang besar dan
bermimpi besar. Perkataan-perkataan beliaulah yang kemudianmembuatku bersikeras
mengejar mimpi-mimpiku menjadi seorang pelukis, meski itu harus bertentangan
dengan keinginan orang tua dan membuatku meninggalkan kampung halaman.
“Bapak, sekarang
berjualan mangga?” tanyaku
sambil memperhatikan dua keranjang besar yang dibawa Pak Darma. Tubuh rentanya
tentu tidak sebanding dengan beban yang dibawanya, Entah kekuatan apa yang
membuatnya bisa mengangkat keranjang sebesar itu.
“Iya mut, sudah lima
tahun terakhir, buahnya tergantung musim, kadang mangga, kadang lengkeng.
Tadinya bapak buka warung di rumah, tapi lama-lama barang di warung habis
karena tidak balik modal”
Tanpa kutanya lebih
lanjut, Pak Darma bercerita banyak hal tentang hidupnya paska pensiun sebagai
Guru SD. Sejak masuk SMA, aku memang tak pernah lagi bertemu dengan Pak Darma.
Istrinya meninggal dua tahun setelah Pak Darma pensiun, bukan karena sakit atau
kecelakaan, hanya saja Allah lebih sayang kepadanya, kata Pak Darma lirih. Pak
Darma hanya mempunyai seorang putra, seorang Sarjana Teknik yang tadinya
bekerja di sebuah perusahaan tambang. Namun karena sebuah kecelakaan kerja,
putra Pak Darma mengalami cacat pada kaki untuk seumur hidupnya. Sekarang putra
Pak Darma membuka usaha reparasi barang elektronik di rumahnya.
Meski sudah lanjut
usia, Pak Darma berjualan buah mangga untuk menghidupi dirinya sendiri, Beliau
tidak mau menggantungkan hidup pada anaknya yang walaupun masih muda dan kuat
tapi memiliki keterbatasan untuk bergerak. Pak Darma juga bercerita tentang
keinginannya untuk bisa berangkat ke tanah suci. Karena itu ia berjualan buah
setiap hari dari pasar ke pasar, stasiun ke stasiun, atau tempat keramaian
lainnya, berharap dagangannya akan habis terjual dan ia bisa menyimpan sedikit
penghasilannya untuk ditabung.
“Jadi, kapan Bapak
akan berangkat ke tanah suci?” tanyaku
penuh antusias.
Beliau hanya
menjawab tanyaku dengan senyuman.
“hmm..maaf pak, pertanyaan
jika pertanyaan saya menyinggung” ujarku
menyesal
“Tidak apa-apa Mut.
Tabungan bapak masih sedikit, seperempatnya saja belum sampai. Bapak belum tahu
kapan bisa berangkat, meskipun usia Bapak semakin tua, tapi Bapak selalu yakin
Allah akan mengizinkan Bapak berangkat ke tanah suci. Sekarang Bapak masih
berikhtiar”
Aku menunduk tajam.
Jika usianya sekarang 70 tahun, dan tabungannya belum ada seperempatnya, dengan
penghasilannya yang hanya dari berjualan buah, ah..nalar otakku tak dapat lagi
menghitung pada usia berapa Pak Darma dapat memenuhi cita-cita mulianya itu.
Stasiun Tawang
semakin ramai. Matahari semakin tinggi. Sebentar lagi Dik Runi akan datang
menjemputku pulang ke rumah. Aku memandang sekelilingku, ada banyak penjual
keliling yang menjajakan makanan, minuman, oleh-oleh khas Semarang, atau buah
seperti yang dibawa Pak Darma. Sebagian dari mereka telah berusia separuh baya.
Berapa banyak dari mereka yang mempunyai keinginan seperti Pak Darma dan berapa
banyak dari mereka yang tetap berikhtiar meski tahu bahwa dengan penghasilan
mereka yang tak seberapa itu akan butuh waktu yang sangat lama agar cukup untuk
biaya pergi haji. Aku jadi teringat orang tuaku. Bersyukur Ayah medapat warisan
tanah dari Kakek, meski sempat menimbulkan perdebatan, enam tahun lalu tanah
itu dijual untuk biaya Ayah dan Bunda pergi haji. “Tak apa-apa tak punya tanah, yang penting Ayah sudah hidup tenang
jika sudah pergi haji” ujar
Ayah lirih.
Tiba-tiba saja
ingatanku berputar kembali ke masa lalu. Masa kanak-kanak yang tak pernah aku
lupakan.
“Siapa yang punya
cita-cita?” teriak
Pak Darma, wali kelas kami lantang. Semua anak mengacungkan tangannya.
“Apa cita-cita
kalian?” lagi,
tanya Pak Darma
“Jadi Petani pak”
“Buka warung pak”
“Beli Motor pak,
biar bisa ngojek”
Saat itu Pak Darma
hanya tersenyum. “Anak-anak
yang Bapak cintai, milikilah cita-cita kalian setinggi mungkin. Kalau orang tua
kalian petani, buka warung, atau tukang ojek, kalian harus punya cita-cita yang
lebih tinggi. Jadi Presiden, Ilmuwan, Pilot, Dokter atau menjadi apapun, yang
penting kalian percaya diri, menyukai pekerjaan tersebut dan kemudian
bermanfaat bukan hanya untuk diri kalian sendiri tapi juga untuk orang-orang di
sekitar kalian”
Begitu terus setiap
harinya Pak Darma memotivasi kami, selalu mengingatkan kami agar mempunyai
cita-cita untuk menjadi orang besar dan berjiwa besar. Saat itu, kami adalah
anak kampung, masih kelas 6 SD dan otak kami tak sampai untuk bisa mencerna
kata-kata Pak Darma. Tapi perkataan tersebut ternyata tersimpan dalam alam
pikiran bawah sadarku, dan menjadi bekalku di kemudian hari.
“Saya mau jadi
pelukis pak” teriakku saat
itu dengan penuh semangat sambil mengacungkan tangan. Aku tak tahu menjadi
pelukis bisa bermanfaat untuk orang lain atau tidak, yang jelas aku sangat suka
menggambar. Dan disinilah aku sekarang. Menjadi seorang pelukis yang meski
belum profesional, tapi bulan depan aku akan mengadakan pameran tunggal. Aku
khusus pulang untuk menjemput kedua orang tuaku, mengajak mereka menikmati
hasil karyaku, membuktikan pada mereka bahwa aku bisa menggapai mimpi-mimpiku.
“Mut, Muthi...kok
malah ngelamun nduk? Kamu nunggu dijemput tho? Oia, bapak belum sempat
bertanya-tanya, kamu sekarang sudah bekerja atau masih sekolah?” Suara Pak Darma membangunkanku dari memori 15 tahun
lalu. Tiba-tiba pikiranku tertuju pada sejumlah uang di rekeningku, hasil dari
penjualan dua buah lukisan.
“Hmm, Pak, Bapak mau
pergi ke tanah suci tahun depan?” Lontarku
spontan. Tak apalah, sebagian dari rekeningku untuk biaya Pak Darma memenuhi
panggilan Allah. Toh kedua orangtuaku sudah pergi haji, aku pun masih bisa
memberikan sebagian hasil keringatku pada mereka.
“Wah, saya sih
mau saja Mut, tapi itu ndak mungkin, wong tabungan saya saja belum ada
seperempatnya” Ujar
Pak Darma sambil terkekeh.
“Bapak tak usah
khawatir soal tabungan, saya akan menambah tabungan Bapak supaya cukup untuk
mendaftar haji”
“Ah, tidak usah Mut,
tidak usah, memangnya kamu punya uang? Ah, kalaupun punya, itu pasti hasil
kerja kerasmu, itu untukmu saja. Simpan untuk masa depanmu, nduk, atau berikan
pada kedua orang tuamu, mereka lebih berhak”
Aku melihat Pak
Darma menitikkan air mata. Aku tahu betapa keinginannya untuk pergi ke tanah
suci sangat kuat. Tapi keteguhannya untuk mempertahankan harga dirinya lebih
kuat. Jangankan aku yang hanya murid SD nya, penghasilan dari anaknya saja tak
mau beliau terima.
“Tak apa-apa Pak,
saya memang hanya murid SD Bapak, tapi bagi saya Bapak adalah orang tua saya.
Bapak adalah inspirasi saya untuk menggapai mimpi-mimpi saya. Ijinkan saya
membalas kebaikan Bapak.”
Pak Darma tergugu,
tangisnya pecah, tapi ia tak bicara sepatah pun. Itu artinya iya, hanya saja
beliau tak sanggup mengatakannya.
“Kak Muthi!!!” Teriak seorang gadis remaja berkerudung ungu.
Tangannya melambai ke arahku. Dik Runi, jika saja aku tak melihat foto yang ia
kirimkan setiap tahun, pasti aku sudah tak mengenalinya. Aku segera memeluknya.
Melepas rindu selama lima tahun pada adik semata wayangku.
“Kak Muthi mau beli
mangga ya? Beli yang banyak ya kak, sekalian buat Ayah dan Bunda di rumah.
Mereka kangen sekali sama Kak Muthi”
Aku terdiam sebentar “Iya, Kak Muthi mau beli mangga, kamu mau berapa banyak?” Ujarku sambil tersenyum. Dik Runi tak
perlu tahu percakapanku dengan Pak Darma. Begitu pula Ayah dan Bunda. Biarlah
hanya aku, Pak Darma dan Allah saja yang tahu.
*** TAMAT***
Bagian terbaik dari
kehidupan seorang manusia yang baik
adalah amalnya yang
kecil, tak bernama, tak diingat,
yang bersumber dari
rasa kebaikan dan kasih sayang
~william wordsworth~
0 Response to "Suatu Pagi di Stasiun Kereta ( cerbung : part 3 )"
Posting Komentar