Hati-Hati dengan Egois yang Tak Disadari

Hari ini, sejarah berulang. Ya, Indonesia kembali bertemu melawan Malaysia di final Sea Games, persis sama seperti akhir tahun 2010 lalu, di final piala AFF. Hasilnya juga persis, Indonesia runner up a.k.a kalah. Eniwei, bukan itu topik utama saya.

Hari ini, saya baru menyadari bahwa dunia ini tak seramah yang kita pikir, bahwa orang-orang di sekitar kita tak setulus yang kita pikir, bahwa saya terlalu polos dan terlalu kecewa. Eniwei, biarin aja sih.. ini bukan hal yang worth it untuk diperbincangkan (kenapa juga ditulis?!? he2... curcol..)

Hari ini, pertahanan hati, jiwa dan emosi saya diobrak-abrik oleh berbagai macam hal secara bersamaan (ga ada hubungannya sama kekalahan Indonesia loh) . Ini cukup membuat saya sedikit labil. Mau menguatkan diri sendiri ya susah juga, sebagai makhluk sosial tentu saja saya membutuhkan orang lain, dan sebagai hamba Allah, tentu saja saya membutuhkan Allah untuk bertopang.  Jadi bohong banget kalo ada seseorang yang dilanda segala kesulitan dan kegelisahan lalu dia memulihkannya sendiri, pasti ada campur tangan lain. 

Seringkali saya sebagai manusia yang berteriak menuduh orang egois, padahal saya sendiri bertindak egois tanpa sadar. Bukankah kita mendapat perlakuan seperti apa kita memperlakukan? Contoh sederhananya, saya hanya mengadu dan menangis kepada Allah saat mendapat kesusahan, sedangkan ketika mendapat kebahagiaan, saya lupa, lupa untuk bersyukur, lupa untuk sekedar khusyu ketika sholat. Atau contoh lain, ketika saya sedang sedih, saya mendatangi atau curhat sama temen saya, minta dia mendengarkan dengan sepenuh hati dan memberi solusi, tapi disaat yg bersamaan saya justru tak pernah menanyakan bagaimana kabarnya pada saat itu, jangan-jangan dia sedang sedih juga (dan saya menambahnya dengan cerita sedih saya!). 

Duhai, janganlah menuduh meski itu hanya dalam hati.



Tulus, No "Jutek" !


Tak sengaja, mendengar pembicaraan seseorang tidak berseragam yang sedang menelpon, “Iya, orang-orang di lantai 20 tuh judes-judes banget, parah..”. Refleks kepala saya menengok ke orang tersebut, kami bertatap mata, dia langsung menunduk dan pergi dari tempatnya (padahal saya ga ngapa-ngapain lho). Mungkin karena melihat saya berseragam, dia mengira saya juga bagian dari orang-orang “judes” di lantai 20. Untungnya saya tidak berkantor di gedung itu, jelas saya bukan bagian dari lantai 20, tapi kebetulan saja waktu itu saya memang akan menuju lantai 20.

Tapi..ah daripada saya cerita bahwa benarkah yang dikatakan orang tidak berseragam yang sedang menelpon itu, alangkah baiknya kalau saya instrospeksi diri sendiri saja. Meski saya tidak bekerja di bagian pelayanan atau loket atau meja dimana harus menghadapi orang-orang datang hilir mudik, tapi sesekali memang ada tamu yang datang. Saya bertanya pada diri sendiri, sudahkah saya ramah dan tersenyum kepada tamu-tamu tersebut? Jangan-jangan di depan kantor saya ada orang yang bilang “males ah, orang-orang di lantai 5 jutek-jutek”. Wow, bisa jadi saya termasuk salah satu orang tersebut.

Ngaku-ngaku pelayan masyarakat, tapi sekedar menjawab pertanyaan saja sambil jutek, apalagi kalo di demo sama masyarakat? Atau bisa jadi ini salah satu faktor (salah satu aja lho ya) yang menyebabkan masyarakat apatis terhadap pemerintah. Jadi inget yel-yel waktu orientasi pegawai di awal dulu “Melayani dengan tulus”. Tulus itu ngga pake jutek lho :D




Suatu Pagi di Stasiun Kereta ( cerbung : part 3 )


part 1 : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150262447526398
part 2 : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150293702765982
***

Jam di dinding stasiun menunjukkan pukul 05.30. Masih ada setengah jam lagi untuk menikmati segelas kopi di tanganku yang sudah tidak panas ini. Sebenarnya bagian yang paling mengasyikkan dari meminum kopi adalah ketika mataku berkeliling menyapu sekitar.

“Muthia?”
Gelas kopi di tanganku sedikit berguncang. Dalam waktu sepersekian detik aku langsung menoleh ke arah orang yang memanggilku. Seorang kakek tua berusia sekitar 70 tahun. Dahiku sedikit mengerenyit, mencoba mengenalinya.

“Muthi, masih ingat bapak? Pak Darma? Piye kabarmu, nduk?” Kata Kakek tersebut meyakinkanku.
“MasyaAllah, Pak Darma?” reflek aku meletakkan gelas kopi yang isinya tinggal seperempat, kemudian menyalami Kakek itu. Beliau adalah guru semasa SD ku. Guru yang mendongkrak pemikiran anak kampung sepertiku. Guru yang tak hanya mengajar mata pelajaran, tapi juga mendidik siswa-siswanya untuk menjadi orang besar. Ya, menjadi orang besar dan bermimpi besar. Perkataan-perkataan beliaulah yang kemudianmembuatku bersikeras mengejar mimpi-mimpiku menjadi seorang pelukis, meski itu harus bertentangan dengan keinginan orang tua dan membuatku meninggalkan kampung halaman.

“Bapak, sekarang berjualan mangga?” tanyaku sambil memperhatikan dua keranjang besar yang dibawa Pak Darma. Tubuh rentanya tentu tidak sebanding dengan beban yang dibawanya, Entah kekuatan apa yang membuatnya bisa mengangkat keranjang sebesar itu.

“Iya mut, sudah lima tahun terakhir, buahnya tergantung musim, kadang mangga, kadang lengkeng. Tadinya bapak buka warung di rumah, tapi lama-lama barang di warung habis karena tidak balik modal”
Tanpa kutanya lebih lanjut, Pak Darma bercerita banyak hal tentang hidupnya paska pensiun sebagai Guru SD. Sejak masuk SMA, aku memang tak pernah lagi bertemu dengan Pak Darma. Istrinya meninggal dua tahun setelah Pak Darma pensiun, bukan karena sakit atau kecelakaan, hanya saja Allah lebih sayang kepadanya, kata Pak Darma lirih. Pak Darma hanya mempunyai seorang putra, seorang Sarjana Teknik yang tadinya bekerja di sebuah perusahaan tambang. Namun karena sebuah kecelakaan kerja, putra Pak Darma mengalami cacat pada kaki untuk seumur hidupnya. Sekarang putra Pak Darma membuka usaha reparasi barang elektronik di rumahnya.

Meski sudah lanjut usia, Pak Darma berjualan buah mangga untuk menghidupi dirinya sendiri, Beliau tidak mau menggantungkan hidup pada anaknya yang walaupun masih muda dan kuat tapi memiliki keterbatasan untuk bergerak. Pak Darma juga bercerita tentang keinginannya untuk bisa berangkat ke tanah suci. Karena itu ia berjualan buah setiap hari dari pasar ke pasar, stasiun ke stasiun, atau tempat keramaian lainnya, berharap dagangannya akan habis terjual dan ia bisa menyimpan sedikit penghasilannya untuk ditabung.

“Jadi, kapan Bapak akan berangkat ke tanah suci?” tanyaku penuh antusias.
Beliau hanya menjawab tanyaku dengan senyuman.
“hmm..maaf pak, pertanyaan jika pertanyaan saya menyinggung” ujarku menyesal
“Tidak apa-apa Mut. Tabungan bapak masih sedikit, seperempatnya saja belum sampai. Bapak belum tahu kapan bisa berangkat, meskipun usia Bapak semakin tua, tapi Bapak selalu yakin Allah akan mengizinkan Bapak berangkat ke tanah suci. Sekarang Bapak masih berikhtiar”

Aku menunduk tajam. Jika usianya sekarang 70 tahun, dan tabungannya belum ada seperempatnya, dengan penghasilannya yang hanya dari berjualan buah, ah..nalar otakku tak dapat lagi menghitung pada usia berapa Pak Darma dapat memenuhi cita-cita mulianya itu.

Stasiun Tawang semakin ramai. Matahari semakin tinggi. Sebentar lagi Dik Runi akan datang menjemputku pulang ke rumah. Aku memandang sekelilingku, ada banyak penjual keliling yang menjajakan makanan, minuman, oleh-oleh khas Semarang, atau buah seperti yang dibawa Pak Darma. Sebagian dari mereka telah berusia separuh baya. Berapa banyak dari mereka yang mempunyai keinginan seperti Pak Darma dan berapa banyak dari mereka yang tetap berikhtiar meski tahu bahwa dengan penghasilan mereka yang tak seberapa itu akan butuh waktu yang sangat lama agar cukup untuk biaya pergi haji. Aku jadi teringat orang tuaku. Bersyukur Ayah medapat warisan tanah dari Kakek, meski sempat menimbulkan perdebatan, enam tahun lalu tanah itu dijual untuk biaya Ayah dan Bunda pergi haji. “Tak apa-apa tak punya tanah, yang penting Ayah sudah hidup tenang jika sudah pergi haji” ujar Ayah lirih.

Tiba-tiba saja ingatanku berputar kembali ke masa lalu. Masa kanak-kanak yang tak pernah aku lupakan.
“Siapa yang punya cita-cita?” teriak Pak Darma, wali kelas kami lantang. Semua anak mengacungkan tangannya.
“Apa cita-cita kalian?” lagi, tanya Pak Darma
“Jadi Petani pak”
“Buka warung pak”
“Beli Motor pak, biar bisa ngojek”
Saat itu Pak Darma hanya tersenyum. “Anak-anak yang Bapak cintai, milikilah cita-cita kalian setinggi mungkin. Kalau orang tua kalian petani, buka warung, atau tukang ojek, kalian harus punya cita-cita yang lebih tinggi. Jadi Presiden, Ilmuwan, Pilot, Dokter atau menjadi apapun, yang penting kalian percaya diri, menyukai pekerjaan tersebut dan kemudian bermanfaat bukan hanya untuk diri kalian sendiri tapi juga untuk orang-orang di sekitar kalian”

Begitu terus setiap harinya Pak Darma memotivasi kami, selalu mengingatkan kami agar mempunyai cita-cita untuk menjadi orang besar dan berjiwa besar. Saat itu, kami adalah anak kampung, masih kelas 6 SD dan otak kami tak sampai untuk bisa mencerna kata-kata Pak Darma. Tapi perkataan tersebut ternyata tersimpan dalam alam pikiran bawah sadarku, dan menjadi bekalku di kemudian hari.

“Saya mau jadi pelukis pak”  teriakku saat itu dengan penuh semangat sambil mengacungkan tangan. Aku tak tahu menjadi pelukis bisa bermanfaat untuk orang lain atau tidak, yang jelas aku sangat suka menggambar. Dan disinilah aku sekarang. Menjadi seorang pelukis yang meski belum profesional, tapi bulan depan aku akan mengadakan pameran tunggal. Aku khusus pulang untuk menjemput kedua orang tuaku, mengajak mereka menikmati hasil karyaku, membuktikan pada mereka bahwa aku bisa menggapai mimpi-mimpiku.

“Mut, Muthi...kok malah ngelamun nduk? Kamu nunggu dijemput tho? Oia, bapak belum sempat bertanya-tanya, kamu sekarang sudah bekerja atau masih sekolah?” Suara Pak Darma membangunkanku dari memori 15 tahun lalu. Tiba-tiba pikiranku tertuju pada sejumlah uang di rekeningku, hasil dari penjualan dua buah lukisan.

“Hmm, Pak, Bapak mau pergi ke tanah suci tahun depan?” Lontarku spontan. Tak apalah, sebagian dari rekeningku untuk biaya Pak Darma memenuhi panggilan Allah. Toh kedua orangtuaku sudah pergi haji, aku pun masih bisa memberikan sebagian hasil keringatku pada mereka.

Wah, saya sih mau saja Mut, tapi itu ndak mungkin, wong tabungan saya saja belum ada seperempatnya” Ujar Pak Darma sambil terkekeh.
“Bapak tak usah khawatir soal tabungan, saya akan menambah tabungan Bapak supaya cukup untuk mendaftar haji”
“Ah, tidak usah Mut, tidak usah, memangnya kamu punya uang? Ah, kalaupun punya, itu pasti hasil kerja kerasmu, itu untukmu saja. Simpan untuk masa depanmu, nduk, atau berikan pada kedua orang tuamu, mereka lebih berhak”

Aku melihat Pak Darma menitikkan air mata. Aku tahu betapa keinginannya untuk pergi ke tanah suci sangat kuat. Tapi keteguhannya untuk mempertahankan harga dirinya lebih kuat. Jangankan aku yang hanya murid SD nya, penghasilan dari anaknya saja tak mau beliau terima.

“Tak apa-apa Pak, saya memang hanya murid SD Bapak, tapi bagi saya Bapak adalah orang tua saya. Bapak adalah inspirasi saya untuk menggapai mimpi-mimpi saya. Ijinkan saya membalas kebaikan Bapak.”
Pak Darma tergugu, tangisnya pecah, tapi ia tak bicara sepatah pun. Itu artinya iya, hanya saja beliau tak sanggup mengatakannya.

“Kak Muthi!!!” Teriak seorang gadis remaja berkerudung ungu. Tangannya melambai ke arahku. Dik Runi, jika saja aku tak melihat foto yang ia kirimkan setiap tahun, pasti aku sudah tak mengenalinya. Aku segera memeluknya. Melepas rindu selama lima tahun pada adik semata wayangku.

“Kak Muthi mau beli mangga ya? Beli yang banyak ya kak, sekalian buat Ayah dan Bunda di rumah. Mereka kangen sekali sama Kak Muthi”
Aku terdiam sebentar “Iya, Kak Muthi mau beli mangga, kamu mau berapa banyak?” Ujarku sambil tersenyum. Dik Runi tak perlu tahu percakapanku dengan Pak Darma. Begitu pula Ayah dan Bunda. Biarlah hanya aku, Pak Darma dan Allah saja yang tahu.

*** TAMAT***

Bagian terbaik dari kehidupan seorang manusia yang baik
adalah amalnya yang kecil, tak bernama, tak diingat,
yang bersumber dari rasa kebaikan dan kasih sayang
~william wordsworth~




Hujan, Jalak dan Daun Jambu
(Sapardi Djoko Damono)


Hujan turun semalaman. Paginya jalak berkicau dan daun jambu bersemi;
Mereka tidak mengenal gurindam dan peribahasa, tapi menghayati adat kita yang purba.
Tahu kapan harus berbuat sesuatu, agar kita manusia, merasa bahagia. 
Mereka tidak pernah bisa menguraikan hakikat kata-kata mutiara, 
Tapi tahu kapan harus berbuat sesuatu, agar kita merasa tidak sepenuhnya sia-sia