Review Film Leher Angsa

Ga sabar pengen review film yang agak aneh tapi super kocak ini. Awalnya saya ga tau kalo Leher Angsa ini film anak-anak. Saya cuma tau kalo latar viewnya Gunung Rinjani. Akhir-akhir ini semua gambar, foto dan video tentang gunung telah membuat saya sangat bersemangat. Maka ketika ada film berlatar Rinjani (gunung  tertinggi ketiga di Indonesia) tentu saya merasa harus menontonnya. Untuk setiap film Indonesia yang berkualitas, saya selalu usahakan menontonnya di bioskop, ya kali aja dengan begitu saya bisa berkontribusi untuk kemajuan film-film Indonesia. 

Tadinya ada kekhawatiran bahwa film ini akan seperti 5 cm. Film yang dibuat di Gunung Semeru, yang berhasil memukau mata saya dan jutaan penonton di Indonesia sekaligus berhasil mengganggu keindahan alam Semeru, bahkan berdampak hingga sekarang. Apakah tidak cukup Semeru menjadi korban? Apakah Rinjani harus ikut diganggu demi kepentingan komersial? Tapi saat melihat berita di internet bahwa syuting film ini hanya dilakukan di sebuah Desa di kaki Gunung Rinjani, bukan di kawasan gunungnya, maka saya cukup merasa lega.

Memasuki Teater saya dan teman saya tertawa cekikian, isinya sebagian besar adalah anak-anak dan ibu-ibu yang mengantar anaknya, ada juga sih beberapa pasangan abege. It's oke, walaupun film ini segmentasinya untuk anak-anak, demi melihat view Rinjani dari sorotan kamera-kamera canggih, saya tetap semangat menonton.

Nah ini Sinopsisnya :



Ada sebuah desa yang seluruh penduduknya buang air besar di kali. Satu-satunya fasilitas buang air besar yang sehat di desa itu adalah sebuah WC Leher Angsa milik kepala desa. Dan di desa itu ada seorang bocah lelaki cerdas bernama Aswin yang gemar membaca. Karena dengan gemar membaca, Aswin jadi mengerti banyak hal.

Aswin kehilangan ibunya ketika sebuah pesawat latih ringan jatuh menimpa sang ibu yang sedang bekerja di ladang.
 Mestinya saat itu giliran ayahnya, Pak Tampan yang bekerja di ladang, tapi sang ayah lebih memilih pergi menyabung ayam. Sudah kehendak Tuhan kata sang ayah, tapi Aswin tak menerima dan tak mengerti. Sejak saat itu Aswin jadi tidak suka kepada ayahnya.

Segera Aswin mendapat ibu baru, Aswin menyukai ibu barunya. Dan karenanya merasa kasihan melihat ibu barunya yang tak terbiasa buang air besar di kali. Aswin meminta ayahnya untuk membuatkan ibu barunya sebuah WC leher angsa seperti milik kepala desa. Ditambah dengan keinginan memiliki sepeda yang tak pernah dipenuhi ayahnya, Aswin semakin
 tidak suka pada ayahnya.

Pak Tampan, terkena kutukan - paling tidak itu pikiran Aswin - tumbuh bisul di bokongnya. Sudah tentu Pak Tampan
 yang pelit tidak mau berobat ke dokter atau puskesmas. Bisul itu akan sembuh dengan sendirinya, pikirnya. Tapi ternyata tidak. Rupanya itu jenis bisul yang bandel. Dan Aswin makin yakin bahwa bisul itu adalah hukuman atas dosa-dosa ayahnya. Dosa itu adalah tidak mau membuat WC leher angsa buat ibu barunya dan tidak mau membelikannya sepeda. Tak mau panjang lebar berdebat dengan anaknya, Pak Tampan mengakui saja kesalahannya, dan berjanji akan membuat WC leher angsa di rumah.

Apakah Pak Tampan benar-benar menepati janjinya? Apakah bisul Pak Tmapan pecah setelah ia buatkan WC dan membelikan Aswin sepeda? (Sumber : www.21cineplex.com )




Siapa yang sangka kalo maksud dari leher angsa dalam judul film ini adalah WC leher angsa (padahal tadinya saya udah membayangkan yang romantis-romantis gitu, haha..) Banyak adegan lugu dan lucu khas anak-anak dalam film ini. Dialog-dialognya sederhana, mudah dicerna, pun banyak kalimat nasehat yang mudah dipahami anak-anak. Walopun ada saja kata-kata yang menurut saya belum bisa dipahami anak-anak tapi ternyata ditertawakan oleh mereka. Anak-anak jaman sekarang terlalu cepat dewasa sebelum waktunya ya (-__-)" 

Namun persahabatan Aswin, Najin, Asfar dan Johan yang tulus dan apa adanya mengingatkan saya kembali pada pergaulan saya di dunia orang dewasa kini. Apakah saya sudah setulus anak-anak itu.. Aswin yang selalu peduli dengan keadaan teman-temannya. Ketika Safar tidak masuk sekolah karena bisulan, hanya Aswin yang berpikir untuk menjenguk temannya itu. Bahkan Aswin membawakan ikan asin untuk Safar yang ternyata setiap harinya hanya makan ubi rebus. Najib yang agak keras dan kasar tapi selalu berusaha untuk melindungi dan membela teman-temannya. Adegan Najib menggendong Safar yang sedang bisulan ketika terburu-buru ingin melihat kondisi Ayah Safar yang tertimbun longsor, berhasil membuat dada saya sesak dan mata saya berkaca-kaca. 

Adegan lain yang membuat saya kembali berkaca-kaca adalah ketika Aswin dengan pikiran dan emosi kanak-kanaknya, berhasil menggugah dan mengingatkan dosa-dosa sang ayah. Tentu saja tidak ada manusia yang bisa menentukan suatu perbuatan itu dosa atau tidak, bahkan ketika Aswin bilang bahwa salah satu dosa Ayahnya adalah menyebabkan Ibunya meninggal. Tapi bukankah sebagai umat Muslim kita punya pedoman hidup yang akan menuntun kita mana perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.

Nilai minus untuk film ini adalah animasi menjijikan tentang (maaf) perjalanan kotoran manusia dari kali hingga ke laut dan dimakan oleh ikan. Menurut saya ga harus segitunya. Entah siapa yang berlebihan. Saya atau si pembuat animasi. Tapi saking menjijikannya, selama adegan itu saya ga mau liat ke layar (keingetan popcorn dan lemon tea yang masih harus dihabiskan, hehe..)

Film ini mengalir dengan sangat biasa seperti kehidupan masyarakat desa sehari-hari. Meski saya agak kaget dan bertanya-tanya, apa benar masih ada di Indonesia warga satu desa tidak ada yang mempunyai WC di rumahnya atau paling tidak fasilitas WC umum yang dibangun pemerinah. Ternyata teman saya bilang, di daerah timur, seperti di Bali misalnya, mayoritas warga memang tidak mempunyai WC. Mereka buang hajat dimanapun dan kapanpun mereka ingin. Weww..

Seperti yang diutarakan Aswin, si Anak cerdas, cukup sulit merubah kebiasaan masyarakat yang sudah mendarah daging.  Ketika pada akhirnya warga di Desanya Aswin membangun WC di rumahnya, masih ada beberapa warga yang tidak bisa merubah kebiasaan buang hajat di sungai. Tetapi merubah kebiasaan bukanlah hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. Dengan dorongan yang terus menerus untuk merubah kebiasaan ke arah yang lebih baik, fasilitas yang memadai serta tekad yang kuat, semua itu tentu bisa terjadi.

Ah, saya lupa bercerita tentang view Rinjani, bukankah itu tujuan awal saya menonton film ini.. Well seperti Semeru yang membuat saya terbius lewat kamera di Film 5 cm, begitu pun dengan Rinjani. Sekilas hamparan savana nya mirip bromo, indah bukan main. Barisan bukit hijau dan liukan-liukannya bikin hati ini meleleh *tsaahhh :D Awan-awan berarak dengan setia menaungi Dewi Anjani. MasyaAllah.. begitu sempurnanya Allah telah menciptakan semesta ini, dan itu ada di sekitar kita. 

Yup, akhirnya film yang disutradarai Ari Sihasale ini saya kasih nilai 7 dari 10 (nilai minus untuk animasi menjijikan itu, hehe..). Maju terus Film Indonesia :)