SKETSA (Pada sebuah transportasi rakyat bernama Metromini)



Latar : Metromini 640 ( Tanah Abang – Pasar Minggu)


Sketsa 1 : Seniman Jalanan dan Aishiteru

Sepertinya setiap sepuluh menit sekali seniman jalanan (orang-orang biasa menyebutnya pengamen) memasuki metromini ini. Sepanjang perjalanan, jika tak salah ingat, ada 6 seniman jalanan (belum terhitung rekan kerjanya) yang masuk. Ada pemuda berusia menjelang dua puluh, ada juga anak-anak berusia sekitar sepuluh tahun. Ada yang bernyanyi dengan diiringi permainan gitar dan tabuhan drum lipat, ada yang diiringi dengan gitar kecil dan tabuhan pipa-pipa yang lubangnya ditutup karet, ada juga yang merasa cukup diiringi kecrekan botol air mineral berisi sedikit beras. Ada yang bersuara emas, ada juga yang pas-pasan. Lima dari enam seniman jalanan ini menyanyikan lagu yang sama, yaitu “Aishiteru”. Entah karena lagu ini memang sedang populer atau karena lagu ini mudah dihafal, atau karena seniman-seniman jalanan ini “satu perguruan”.


Tak semuanya perlu diberi apresiasi, tentu saja, karena apresiasi hanya untuk seniman yang bersungguh-sungguh dalam pertunjukkan kecilnya di atas Metromini itu. Terlalu berlebihan? Tidak juga, ini namanya perhargaan atas sebuah karya. Terlepas dari apakah mereka bernyanyi karena keinginan sendiri untuk mencari nafkah, karena memang hobby bernyanyi, atau terpaksa karena telah menjadi alat pengumpul uang bagi para preman. Maka dari itu sejak tadi saya menyebut mereka seniman jalanan (bukan pengamen), sekedar ber-positive thinking saja.


Sketsa 2 : Oma, Cucu, dan Mama

Hampir sepanjang jalan sang Oma sibuk memarahi sang Cucu (sepertinya semata wayang) yang tak bisa diam duduk manis di kursi Metromini. Layaknya anak-anak, ada-ada saja kelakuan yang aneh-aneh dan membuat orang-orang dewasa (yang nampaknya lupa masa kecilnya seperti apa) tak nyaman melihat hal tersebut. Barangkali Oma teramat sayang pada cucunya ini, maka beliau berkali-kali mengingatkan Cucu, sayangnya dengan omelan, celaan, bahkan cubitan. Beberapa penumpang lain (yang tak punya pilihan pemadangan lain) sepertinya agak terhentak saat melihat Cucu menendang-nendang Oma untuk meminta dibelikan sesuatu, lalu Oma pun membalas dengan tepukan (agak keras) di kaki cucu disertai dengan pelototan mata yang tentu sangat tajam. Ahh.. orang lain pasti tak tega melihat keduanya. Para penumpang lain pun semakin terkejut ketika Cucu memanggil wanita yang duduk di sebelahnya dengan panggilan “Mama”. Ohlala.. Jadi wanita yang sejak tadi diam saja melihat keributan Oma dan Cucu itu adalah Mama (Anak sang Oma, dan Ibu sang cucu)??


“Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki”

“Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi”

“Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri”


Sketsa 3 : Si Gadis Hitam Manis

Kecantikan alami si gadis hitam manis ini masih terlihat, meski bajunya kumal dan aromanya (maaf) agak bau. Ia membawa kresek putih yang juga kumal. Tadinya dikira si gadis ini mau mengamen, tapi ternyata tidak. Ia hanya berdiri mematung di dekat pintu Metromini. Saat seorang penumpang akan turun, si gadis terkejut dan tiba-tiba saja berteriak-teriak tak karuan memarahi penumpang yang akan turun itu. Sontak semua penumpang kaget dan ketakutan.

"Orang stress kali ya..” bisik seorang penumpang ibu-ibu paruh baya.

Metromini terhenti, Pak kernet dan Pak Supir sibuk membujuk si gadis turun dari Metromini, alih-alih turun, si gadis malah berteriak-teriak sambil menangis

“Saya turun di lampu merah depan. Ini saya juga mau pulang!!!” rengeknya.


Barangkali karena tak tega, akhirnya Pak Kernet dan Pak Supir membiarkan si gadis terus menumpang Metromini, tentu saja dengan resiko : Pertama, dijamin si gadis tidak akan membayar ongkos. Kedua, tak ada penumpang yang mau naik (karena si gadis berpakaian kumal dan agak bau ini berdiri di pintu depan). Ketiga, para penumpang yang ada di dalam Metromini pasti ketakutan, khawatir si gadis akan melakukan hal yang tidak-tidak. Namun akhir cerita boleh membuat semua penumpang cukup lega, si gadis turun dengan sendirinya di lampu merah Pancoran (tepat seperti yang ia bilang saat menangis merengek pada Pak Kernet tadi).

Andai saya petugas sosial, akankah saya membawa si gadis ke panti rehabilitasi lalu mempertemukan kembali dengan keluarganya? sepertinya ia masih ingat masih mengingat beberapa hal tentang kehidupannya.


Epilog

Melihat, mengamati dan menyimpulkan, dengan mata, telinga, otak, dan hati.. Karena tugas seumur hidup manusia adalah belajar. Salah satunya belajar memaknai kehidupan




#dalam perjalanan bersama Metromini 640 , that’s why I like public transportation


0 Response to "SKETSA (Pada sebuah transportasi rakyat bernama Metromini)"

Posting Komentar