The struggles I'm facing
The chances I'm taking
Sometimes might knock
me down, but
No I'm not breaking
I may not know it, but
These are the moments
that
I'm gonna remember
most, yeah
Just gotta keep goin'
And I, I gotta be strong
Just keep pushing on
(The Climb - Miley Cyrus)
Minggu, 3
November 2013
Pagi itu
angin sudah bertiup kencang dan kabut tebal menyelimuti area camp yang hanya
dihuni oleh tenda kami. Tapi itu tidak menyurutkan semangat kami, nyatanya sang
fotographer dan para lelaki narsis masih semangat untuk berfoto-foto. Usai
sarapan dan packing kami melanjutkan pendakian. Rencana hari ini adalah menuju
puncak Kenteng Songo, dan camp disana jika memungkinkan. Dalam perjalanan
menuju pos pemancar, saya kembali bertemu dengan adik-adik almamater, mereka
tidak jadi muncak karena badai angin di atas sangat kencang. Oke, angin kencang,
kabut tebal, dan persediaan air yang tinggal sedikit. Tetap positif. Semakin
tinggi kami mendaki, angin semakin kencang, badan saya yang kecil ini kadang
sempoyongan tertiup angin. Ditambah lagi jalurnya semakin sempit dan sulit.
Jalur Menuju Pos Helipad (Photo By : Diah) |
Sepanjang
jalur menuju pos helipad, Ucup tak henti-hentinya bertanya pada para pendaki
lain di mana ada sumber air, sayangnya tak ada memberikan petunjuk yang pasti.
Sampai di pos helipad, ada rombongan pendaki yang berbaik hati membagi dua
botol minumnya kepada kami. Sekitar jam 12, tak jauh dari pos helipad, para
lelaki menemukan sumber air, kadang saya kagum dengan insting mereka yang peka
dengan alam, bisa membaca peta dengan baik, dan mengambil keputusan dengan
tepat. Hampir 3 jam kami berhenti untuk mengambil air, sholat dan makan.
Sumber Air Yang Jauh di Bawah Sana (Photo by : Diah) |
Badai angin
yang sempat berhenti sudah datang lagi, padahal dari titik ini menuju puncak
adalah bagian terberat. Ada banyak tanjakan bebatuan ekstrim, saya sendiri heran
bagaimana saya bisa melewati itu semua sambil bawa-bawa keril. Mungkin karena
saya merasa aman bersama tim ini :) Di tengah perjalanan, hujan akhirnya turun,
bayangan buruk saya tentang hujan badai di puncak gunung Gede kembali lagi.
Kami berteduh di bawah flysheet, menunggu hujan dan angin reda. Kelelahan dan
kedinginan mulai menyelimuti. Jangan sampai ada yang drop, itu saja doa saya.
Alhamdulillah tidak sampai setengah jam, hujan berhenti, meski angin masih
bertiup kencang, tapi kami harus melanjutkan perjalanan.
Karena kabut
tebal, jalurnya jadi agak membingungkan. Jalur menuju bukit yang kami hindari
karena dikira puncak Kenteng Songo ternyata bukan puncak, justru jalur yang
kami lewati ternyata menuju pada rayapan cinta dan Puncak Kenteng Songo.
Rayapan cinta adalah jalan setapak di pinggir tebing yang harus dilewati jika
mau ke Puncak Kenteng Songo. Dalam cuaca amat dingin, hujan gerimis, angin
kencang, kabut tebal, dan membawa keril-keril super besar, tentu saja jalur
yang sulit itu menjadi semakin sulit. Kami ragu apakah harus terus lewat atau
tidak. Suasana mulai mencekam. *kalo film adventure udah ada musik-musik nya
nih.. *jenggg jengg jengg
Akhirnya Ucup
memutuskan untuk pergi ke atas sendiri terlebih dulu, untuk melihat situasi dan
kondisi, apakah benar ada jalur lanjutan menuju Selo setelah puncak. Saya,
Tari, Dadang sudah berhasil melewati rayapan cinta, menunggu di pinggir tebing.
Karena lapak untuk berdiri sangat sempit, dan di bawah kami jurang, jadi tiga
orang sisanya, Anto, Haryo dan Bang Wanda menunggu di bawah. Setengah jam lebih
kami menunggu Ucup kembali dari atas dan memberi kabar. Kabut semakin tebal,
hari semakin sore. Kami semua kedinginan karena diam di tempat. And the miracle
is, kami masih bisa bercanda dan tertawa. Bagi saya, dalam situasi seperti
inilah mental kita diuji. Di gunung, ketahanan mental lebih penting daripada
ketahanan fisik (Walopun fisik juga tak boleh diremehkan). Tetapi berpikir
positif bahwa semua akan baik-baik saja akan sangat membantu kita menghadapi
situasi yang tidak mengenakkan. Yup, Everything’s gonna be okay..
Karena
khawatir, hampir saja Anto menyusul ke atas, tetapi kemudian kami lega melihat Ucup
turun dari atas dan kembali ke posisi kami menunggu. Ternyata memang benar, di
atas sana adalah Puncak Kenteng Songo. Jalur menuju Selo tidak terlihat karena
kabut yang tebal. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke bawah, mencari
lahan datar untuk camp.
“Sayang banget udah ke puncak ga ada fotonya, jadi tadi
gw foto-foto dulu” Ujar sang Jenderal
Ucup *gubrakkkk pantesan lamaa -__-
Kami
memutuskan untuk camp di pertengahan jembatan setan. Sebenarnya lahan datar di
sana hanya cukup untuk dua tenda, padahal kami harus mendirikan 3 tenda, tapi
untuk turun lebih jauh lagi dan mencari lahan yang lebih luas akan membutuhkan
waktu yang lama, khawatir hari semakin gelap. Dengan sigap para lelaki
mendirikan tenda, masih dalam badai angin, kabut tebal, dan hari memasuki
malam. Seperti judulnya, “Merbabu Ceria”, dalam suasana seperti itu, semua
masih tetap ceria dalam canda dan tawa :D
“Gw mau masak, awas ya kalo ada yang ngomel-ngomel lagi” ancam saya, and of course I’m just kidding :p mana berani saya ngancem pria-pria baik hati
ini
Malam itu
angin sangat kencang, tak ada lagi foto-foto bersama bintang. Saya dan Tari
dapet jatah tenda eksekutif, kapasitas 5 hanya untuk 2 orang. Dadang yang
kakinya kelewat panjang mengalah untuk tidur diluar, beralaskan matras
beratapkan flysheet, ditemani badai angin, lantunan tidur ala Bang Wanda, dan
kegalauan Anto yang sebentar-sebentar bertanya,
“Dang,
lo baek-baek aja?”
"Dang, tidur disini aja”
“Dang, lo ga kenapa-kenapa kan?”
"Dang, tidur disini aja”
“Dang, lo ga kenapa-kenapa kan?”
Iyalah gimana
bisa tidur, sebentar-sebentar ditanyain mulu, bilang aja Anto minta ditemenin
begadang, hadaahh..
Gelisah kumenanti tetes
embun pagi
Tak kuasa ku memandang
dikau matahari
kini semua bukan milikku
Musim itu telah berlalu
Matahari segera berganti
Badai pasti berlalu
(Badai Pasti Berlalu –
Chrisye)
Senin, 4 November 2013
Jam 5 Subuh
Ucup teriak-teriak dari tenda sebelah. Ternyata hari sudah terang. Pagi yang amat cerah dan
pemandangan indah itu tepat berada di depan tenda kami. Tayangan video alam,
Maha Karya Sang Illahi. Matahari perlahan muncul dari balik Gunung Merapi dengan
pesonanya yang membuat mata kami jatuh hati. Di sisi tebing yang lain,
pemandangan kota Salatiga berlatarkan Gunung Sindoro Sumbing seolah tak mau
kalah menampilkan kecantikannya. MasyaAllah, Subhanallah.. Terima kasih ya
Allah, telah memberikan kesempatan pada kami untuk menikmati sajian alam yang
indah ini. Ini pertama kalinya saya naik gunung dan berhasil melihat sunset
plus sunrise sekaligus.
Sunrise Merbabu (Photo by : Diah) |
Saya & Tari, Partner in Crime (Photo by : ga tau siapa yg moto, lupa) |
Bayangan segitiga Merbabu, Sindoro, Sumbing, Gn. Ungaran (Photo by : Diah) |
Tenda Kami di Pertengahan Jembatan Setan (Lokasi Darurat) (Photo by : Diah) |
Setelah puas
menikmati sunrise, Ucup dan Bang Wanda berkolaborasi memasak nasi goreng
beserta lauk pauknya. Biarkan kedua Master Chef ini menghasilkan karya
terbaiknya, dan kami para wanita cukup mendampingi mereka dengan cerita-cerita,
hehe, sambil bantu goreng-goreng ini itu. Pagi itu terlihat sedikit kegalauan dari Anto, ngambeknya itu lho, ga
kuat, haha.. Demi mengembalikan keceriaan Anto, Dadang mengambilkan kopi dan
nasi goreng, so sweet banget kan :p
Kolaborasi Master Chef Ucup & Bang Wanda (Photo by : Diah) |
Jam 10 pagi,
kami packing dan bersiap-siap Summit menuju Puncak Kenteng Songo. Kabut tebal
kembali turun, angin kencang kembali bertiup. Untuk kedua kalinya saya melewati
rayapan cinta. Kali ini batu tidak lagi licin dan tidak hujan, tapi tetep aja
ngeri. Dalam kengerian itu, as usual.. sang Jenderal Ucup minta difoto, haduhh..
anything for you dah, hahaa.. Saya berhasil menjepret momen rayapan tebing Ucup
dan Bang Wanda, tp berhubung batere kamera hampir habis dan di belakang banyak
pendaki antri mau merayap juga, saya ga sempet foto diri sendiri -__-
Ucup dan Kerilnya di Rayapan Cinta (Photo by : Diah) |
Bang Wanda di Rayapan Cinta (Photo by : Diah) |
Ternyata
rayapan cinta bukan satu-satunya titik ekstrim. Kami masih harus melewati jalur
curam hampir 90 derajat dan pijakan tanah yang hampir longsor.. *ehm agak lebay
ga ya deskripsinya :p Para lelaki bahu membahu mengoper keril-keril yang super
besar dan berat, sampai pada tempat yang aman kami bisa memakai keril kembali. Ini
summit tersulit dan ter-ngeri yang pernah saya alami, bahkan dibandingkan
dengan summit Semeru. Anto yang memang sudah berat, baik itu badannya maupun
kerilnya :p tanpa sadar menginjak tanah gembur yang hampir longsor.
“Awas to itu tanahnya gembur” Teriak Tari
Mukanya
langsung pucat, dia diam sejenak dan melepaskan kerilnya, mengambil nafas dan
mengumpulkan kekuatan kembali untuk naik ke atas. Alhamdulillah akhirnya kami
semua berhasil naik ke atas dengan selamat. Bahkan Ucup dan Dadang masih sempat
menolong rombongan pendaki lain yang ada di belakang kami. Good Job Guys :D
Menjelang siang
sekitar jam 11, tibalah kami di Kenteng Songo. Puncak Merbabu di ketinggian
3.142 Mdpl. Biarlah kabut tebal menyelimuti Kenteng Songo, yang penting hati
kami masih tetap terselimuti oleh keceriaan dan kebahagiaan karena telah
berhasil menggapai puncak. Yup, puncak memang bukan segala-galanya. Ketika baru
saja kemarin sore, setelah sedikit beradu pendapat, kami memutuskan untuk tidak
harus ke puncak, yang penting bisa pulang dengan sehat dan selamat, justru
keesokan harinya kami berhasil menginjakkan kaki di puncak. Itu seperti sebuah
hadiah manis dan indah setelah kami bersabar dan mengalahkan ego masing-masing
demi kebaikan bersama.
Terima kasih
Merbabu,
Terima kasih
Jenderal Ucup,
Terima kasih
Kapten Anto,
Terima kasih
Pangeran Kodok Bang Wanda,
Terima kasih
Cah Ganteng Haryo,
Terima kasih
Fotographer Hebat Dadang,
Terima kasih
My Partner in Crime Tari,
Terima kasih
telah mengisi hari-hariku dengan perjalanan yang luar biasa..
Kalian memang luar biasa!!
Tanpamu tak akan sama
Tanpamu semua berbeda
Kisahmu juga kisahku
Selalu bersama
(Di atas awan - Nidji)
(bersambung ke sini)
13 Maret 2015 pukul 02.18
sebuah kisah cerita untuk anak anak generasi lain nya ,,