
"Buah paling manis dari berani bermimpi, adalah kejadian-kejadian menakjubkan dalam perjalanan menggapainya" -Andrea Hirata-
Dulu waktu jadi mahasiswa, saya pernah punya mimpi memakai sepatu kerja yang modelnya kira-kira seperti ini :
Terlihat elegan, tegas dan modis
Pekerjaan saya di dua tahun pertama ternyata bukanlah pekerjaan dengan suasana formal yang mengharuskan saya bersepatu saat kerja. Sepatu-sepatu yang saya miliki saat itu hanyalah sepatu teplek yang nyaman dipakai untuk turun naik tangga dan berjalan jauh. Setelah pada akhirnya saya bekerja, dimana kantor saya berikutnya mengharuskan saya bersepatu formal dan berwarna hitam, maka mimpi memakai sepatu dengan model seperti di atas pun semakin menggebu.
Tapi kawan, ternyata yang terlihat bagus dipakai orang lain belum tentu terlihat bagus jika dipakai saya. Sebenernnya bagus-bagus aja, asalkan pede. Tapi ini bukan masalah pede atau gak pede, hanya saja memakai sepatu seperti itu “bukan gw banget”. Barangkali benar kata pepatah, "sepatu mencerminkan kepribadian orangnya" (ini pepatah saya sendiri, hehe..). Jadi saat itu, saat memilih-milih di toko sepatu, setelah coba sana coba sini, saya merasa cocok dengan sepatu model begini :
Sepatu ini cukup memenuhi kriteria, dan ternyata nyaman sekali dipakai. High-nya hanya 5cm dan tidak lancip.
Tapi saya masih punya mimpi, memakai sepau boot suatu saat nanti, kira-kira yang modelnya seperti ini :
Sepertinya sepatu boot ini cocok dipakai di musim dingin. Dipadupadankan dengan jilbab putih, gamis pink di atas mata kaki, mantel pink panjang di bawah lutut dan celana panjang hitam. Ya, suatu hari nanti..
"Keprihatinan, seperti halnya kebanggaan, juga kecemasan, seperti halnya optimisme—semua itu adalah pertanda rasa ikut memiliki. Atau rasa terpanggil. Barangkali karena tanah air memang bukan cuma sepotong geografi dan selintas sejarah. Barangkali karena tanah air adalah juga sebuah panggilan” -Goenawan Mohamad-
Membaca quote ini saya baru mengerti, mengapa ada banyak anak negeri bernama Indonesia melakukan dua hal berikut :
Ah..manusia.. Penduduk negeri ini pun manusia, yang telah lahir dan dibesarkan di negeri ini, yang meski kapasitasnya berbeda, tapi masing-masing pasti punya rasa memiliki, then I agree with that quote.
Saya pernah mengalami hal ini berkali-kali, ada kumpulan beberapa orang, asli orang Indonesia. Lalu lemparkan satu topik yang sedang hangat dibicarakan di negeri ini. Lima menit saja, masing-masing dari mereka sudah bisa menjadi pembicara yang hebat, mengutarakan dengan detail permasalahan terkait topik tersebut, lengkap dengan berbagai macam solusi-solusinya, hebat bukan?
Teringat slogan sebuah perusahaan asuransi terkemuka “always listening, always understanding”. Seandainya sang eksekutor, sang legislator, dan sang yudikator mau mendengarkan lebih banyak (dan lebih sering) suara-suara di sekitar mereka, barangkali keruwetan mereka “mengurus” negeri ini akan terasa jauh lebih ringan.
Kemudian saya berandai-andai membayangkan ini, kumpulkan beberapa orang, asli orang Indonesia. Berikan orasi kebangsaan yang menggugah jiwa dan semangat, teriakkan kata-kata cinta tanah air. Setelah itu ajaklah mereka untuk ikut kerja bakti setiap hari minggu di lingkungan rumahnya masing-masing. See what will happen!
Well, I don’t wanna say too much. Mari lakukan (bukan buktikan), bahwa kita memang cinta tanah air!
Ada yang beda di bulan Agustus tahun ini. Tak ada lomba-lomba ataupun panggung (dangdutan). Ramadhan memang membawa berkah. Ah..saya tak keberatan jika segala macam “kemeriahan” berganti dengan kekhusyukan. Bukankah dengan begini, Agustus yang bertepatan dengan Ramadhan sebenarnya adalah momen yang sangat pas untuk benar-benar memaknai perjuangan para pahlawan Indonesia saat merebut kemerdekaan. 65 tahun yang lalu, 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 8 Ramadhan 1364 H.
Dengan suasana Ramadhan, semua orang sedang mendekatkan diri kepada Allah, dan masing-masing insan sedang membuka hati seluas-luasnya untuk bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan, salah satunya adalah nikmat kemerdekaan. Membuka pikiran sedalam-dalamnya untuk belajar dari para pahlawan yang berjuang hingga tetes darah penghabisan.
Malu rasanya 65 tahun yang lalu, pun dengan suasana Ramadhan, pemuda-pemudi Indonesia gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua orang produktif dan sibuk mempersiapkan segala persiapan untuk proklamasi. Bulan Ramadhan, tak jadi halangan untuk mencetak sejarah.
Saya, pemudi berusia hampir setengah abad, bulan Ramadhan dan Agustus ini, apa yang sedang bisa saya lakukan. Apa yang sudah saya berikan untuk negeri tempat saya dilahirkan dan dibesarkan ini? Entahlah..Paling banter besok mengikuti upacara bendera. Lalu..ah..bahkan nama-nama pahlawan pun sudah banyak yang lupa.
Saya cinta dan bangga menjadi bagian dari negeri ini, tapi apakah itu cukup? Selama ini saya merasa berputar-putar saja, mendengar orang lain mencaci maki negeri ini saya pun ikut mencaci maki. Melihat orang lain menyatakan cinta dan bangga pada negeri ini di tanggal 17 Agustus, saya pun ikut menyatakan cinta, ya..hanya pernyataan, bukan realisasi. Maafkan saya..
"Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu." - John Fitzgerald Kennedy -
Sejak pindah ke tengah kota Megapolitan bernama Jakarta Pusat, saya bingung tujuh keliling, rute angkutan apa yang paling tepat dan cepat kalo saya pulang kampung ke kota kecil nan nyaman bernama Sukabumi. Masalah yang utama yang membuat saya bingung adalah :
Setelah survey sana-sini, Tanya sana-sini, googling sana-sini, saya menemukan beberapa alternative rute angkutan umum dari tempat saya di daerah tanah abang ke sukabumi :
Hanya skenario 1 dan 3 yang pernah saya jalankan. Skenario 2 menurut saya paling beresiko karena jalur bis yang menuju kampung rambutan dari tanah abang pasti sangatlah macet, apalagi di jumat malam. Skenario 1 baik jika dijalankan di pagi hari. Hanya membutuhkan waktu satu jam dari harmoni menuju lebak bulus. Jalanan di Jakarta bebas dari macet di sabtu dan minggu pagi. Tapi sayangnya justru kemacetan puncak ada di sepanjang di jalur ciawi-sukabumi. Jadi saya membutuhkan waktu sekitar 5 jam dari tanah abang 1 sampai sukabumi.
Skenario 3 baiknya dijalankan jika pulang di hari jumat sore. Kereta express hanya butuh waktu 45 menit untuk sampai ke bogor. Dan akan lebih cepat lagi jika dari terminal bogor naik elf ke sukabumi. Total waktu yang dibutuhkan sekitar 4 jam (itu sudah plus ngetem). Dan di malam hari jalur ciawi-sukabumi jarang sekali macet. Tapi siap-siap aja, senam jantung sepanjang perjalanan, supir-supir Elf, kalo mengemudi gak inget di mobilnya ada banyak manusia. Tapi Alhamdulillah selama ini saya aman-aman saja.
Perjalanan pulang sama seperti 3 skenario di atas, tinggal dibalik saja. Tapi saya lebih suka skenario 3, karena saya akan terus berada di bis AC. Karena jarak tempuh yang lama, saya gak kuat berlama-lama di dalam bis yang tidak ber-AC, panas dan penuh asap rokok, menyiksa sekali.
Designed by EZwpthemes | Converted into Blogger Templates by Theme Craft